” Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan
hari esok harus lebih baik dari hari ini, begitupun ungkapan itu menjadi
senada dengan “ Tahun ini harus lebih baik dari tahun kemarin dan tahun yang
akan datang harus lebih baik dari tahun ini.
Editor: Ki Manunggal Rasa
Muhasabah Akhir dan
Awal Tahun: Sudahkah Kita Bersyukur kepada
Allah?
Sungguh tak terasa oleh kita semuanya bahwa hari ini Jum’at tanggal 30 Desember
tahun 2022 yang merupakan Jum’at terakhir di tahun 2022, tentunya tidak akan
lama lagi kita akan memasuki tahun baru 2023 Masehi, banyak
hal yang harus kita renungi dan kita ambil Hikmah, ada sebagian keterangan yang
harus kita teladani yaitu” hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan
hari esok harus lebih baik dari hari ini, begitupun ungkapan itu menjadi
senada dengan “ Tahun ini harus lebih baik dari tahun kemarin dan tahun yang
akan datang harus lebih baik dari tahun ini.
Semoga
ini menjadi kenyataan untuk menghadapi tahun 2023 masehi dengan selalu
merenungi akan nikmat-nikmat yang Allah anugerahkan kepada umat manusia sangatlah melimpah dan tidak dapat
dihitung. Kesehatan, harta, mata,
telinga, lisan, anak yang berbakti, istri yang shalihah, teman yang setia, tetangga yang baik dan masih banyak
lagi yang lain adalah nikmat- nikmat yang Allah anugerahkan kepada kita. Meskipun
demikian, kebanyakan manusia
tidak bersyukur. Bahkan banyak di antara kita yang tidak menyadari bahwa hal-hal tersebut adalah nikmat dan anugerah
dari Allah ta’ala. Banyak pula di antara
kita yang tidak
mengetahui hakikat syukur dan bagaimana cara bersyukur.
Allahsubhanahu wata’ala berfirman:
Maknanya: “Sesungguhnya
Allah adalah Dzat yang memberikan anugerah pada
umat manusia. Hanya saja kebanyakan umat manusia tidak bersyukur (kepada-Nya)” (QS. Ghafir: 61)
Syukur ada dua macam. Ada syukur yang wajib dan ada syukur yang sunnah. Syukur yang wajib
adalah tidak menggunakan nikmat yang Allah
anugerahkan kepada kita untuk berbuat maksiat kepada-Nya. Jadi bersyukur
kepada Allah atas nikmat lisan adalah tidak mengatakan perkataan
yang diharamkan oleh Allah. Bersyukur
kepada Allah atas nikmat telinga
adalah dengan tidak mendengarkan sesuatu
yang diharamkan oleh Allah.
Bersyukur kepada Allah atas nikmat mata adalah
dengan tidak melihat
sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Bersyukur
kepada Allah atas nikmat harta adalah dengan tidak membelanjakannya untuk perkara yang haram.
Adapun syukur yang sunnah adalah mengucapkan dengan lisan pujian yang menunjukkan bahwa Allah-lah Sang Pemberi nikmat
dan yang menganugerahkannya kepada para hamba-Nya, semisal dengan ucapan al-hamdulillah. Pemberian nikmat kepada hamba adalah murni anugerah
dan karunia dari Allah, bukan kewajiban bagi-Nya.
Karena memang tidak ada sesuatu pun yang wajib bagi-Nya.
Allah ta’ala berfirman:
Maknanya: “Dan nikmat apa pun yang ada pada kalian
adalah dari Allah. Kemudian jika kalian terkena
mara bahaya, maka hanya kepada-Nya-lah hendaknya kalian memohon” (QS. an-Nahl: 53)
Sebagian orang
sama sekali tidak bersyukur.
Dan sebagian yang lain bersyukur
tetapi tidak secara sempurna. Orang-orang yang sama sekali tidak bersyukur
kepada Allah adalah
mereka yang takabbur sehingga tidak mau menerima
kebenaran yang dibawa oleh para nabi. Mereka
tidak mau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya,
para utusan-Nya dan juga hari akhir. Mereka
meyakini kekufuran dan menolak
tauhid. Mereka ini tidak bersyukur kepada Allah ta’ala sama sekali.
Karena mereka telah meninggalkan kewajiban yang paling dasar dan paling
utama, yaitu iman yang Allah jadikan sebagai
syarat diterimanya amal kebaikan. Mereka
ini termasuk yang dimaksud
dengan firman Allah ta’ala:
Maknanya: “Dan Kami (Allah)
menghukumi amal (yang mereka anggap
baik) yang mereka lakukan (dalam keadaan tidak beriman), maka Kami
jadikan amal mereka seperti debu yang bertebaran (tidak berguna dan tidak diterima).” (QS. al Furqan:
23)
Allah telah memuji
Nabi Ibrahim dalam firman-Nya:
Maknanya: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam
panutan nan taat kepada Allah serta
berpaling pada agama yang lurus. Dan ia tidak pernah termasuk orang-orang musyrik.
Dia adalah orang yang bersyukur
atas nikmat-nikmat-Nya.” (QS.
an-Nahl: 120-121)
Dalam kitab tafsirnya, ath-Thabari mengatakan:
“Maknanya Ibrahim
tulus bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan
Allah kepadanya. Dan dalam bersyukur kepada Allah atas nikmat- Nya tersebut, Ibrahim tidak menjadikan
sekutu bagi-Nya.” Artinya, syukur Nabi Ibrahim kepada Allah diwujudkan
dengan beriman kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
Sedangkan orang-orang yang syukur mereka
tidak sempurna adalah
mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
tapi masih meninggalkan kewajiban
dan melakukan perkara
yang diharamkan. Keadaan
mereka di akhirat
tergantung kehendak Allah. Jika Ia berkehendak, mereka diampuni oleh-Nya
dan langsung dimasukkan surga. Dan jika Ia berkehendak, mereka tidak diampuni
oleh-Nya lalu dimasukkan ke dalam neraka beberapa lama. Akan tetapi walau bagaimanapun, seseorang yang mati dalam keadaan
beriman, pada akhirnya
semuanya akan dimasukkan ke dalam
surga.
Jika keluhuran budi dan akhlak yang terpuji menuntut kita untuk membalas
sesama hamba yang berbuat baik kepada kita dengan berterima kasih dan berbuat baik
kepadanya, maka lebih utama bagi kita untuk
bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat yang dikaruniakan-Nya kepada kita. Imam al Junaid pernah ditanya
tentang apa itu syukur. Beliau menjawab:
“(Syukur
yang wajib adalah) tidak bermaksiat kepada Allah dengan nikmat- nikmat-Nya.”
Seseorang yang menunaikan
semua kewajiban dan meninggalkan seluruh
perkara yang diharamkan, maka ia adalah hamba yang syaakir. Kemudian, jika
ia tidak disibukkan dengan nikmat sehingga melalaikan syukur kepada Sang Pemberi nikmat, dan ia menyadari betapa agungnya nikmat Allah yang selalu melingkupinya dan
perasaan itu semakin kokoh dalam dirinya
serta ia memperbanyak amal-amal kebaikan lebih dari kewajibannya, maka ia disebut hamba yang syakuur (pandai bersyukur). Hamba yang syakuur lebih
sedikit jumlahnya daripada
hamba yang syaakir. Allah ta’ala berfirman:
Maknanya: “Dan sedikit
sekali dari hamba-hamba-Ku yang mencapai derajat
syakuur” (QS. Saba’: 13)
Jadi, orang-orang bertakwa yang bersih dari dosa dan tidak disibukkan dengan nikmat sehingga
melalaikan syukur kepada Dzat Pemberi nikmat, adalah orang-orang yang
sangat jarang dan sedikit di antara kaum muslimin.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
Maknanya: “Umat manusia
itu ibarat seratus
ekor unta. Hampir
tidak kamu dapati di antara mereka yang layak untuk ditunggangi dalam perjalanan jauh.” (HR. Muslim)
Dalam hadits ini terdapat
sebuah isyarat bahwa kebanyakan orang memiliki kekurangan. Sedangkan orang-orang mulia yang zuhud
terhadap dunia, mengejar
kebahagiaan akhirat dan memenuhi syukur dengan sempurna,
jumlah mereka sangat sedikit. Orang-orang pilihan tersebut ibarat satu unta yang layak dijadikan sebagai
hewan tunggangan, di antara sekelompok unta yang ada. Satu
unta ini yang bagus dan layak
dikendarai untuk perjalanan jauh di
antara sekelompok unta tersebut.
Demikian renungan akhir
tahun yang singkat pada siang hari yang
penuh keberkahan ini. Semoga
bermanfaat dan membawa barakah
bagi kita semua.
Amin.